Filsafat intelijen Indonesia
Biasanya, buku Filsafat adalah sesuatu yang
berat, dan rumit dimana satu kalimat dapat terdiri dari beberapa frase panjang
yang memerlukan dua tiga helaan nafas hanya untuk menuntaskannya ke ujung
titik. Apatah lagi kalau filsafat tersebut menyangkut intelijen akan ditambah
dengan misteri kerumitan pola operasi dalam berbagai siasat yang terdiri dari
kebijakan, strategi, taktik, dan teknik intelijen, dengan metode soft, hard
atau smart dalam kekerasan atau kesenyapan. Namun, di tangan Jend. (Purn) AM
Hendropriyono –seorang Doktor Filsafat, praktisi militer dan intelijen par
excellence, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), serta pernah memegang
beberapa jabatan Menteri, penuturan buku ini –diterbitkan tahun 2013 oleh Penerbit
buku Kompas, 232 halaman– mengalir ringan, dan mudah dicerna ibarat sebuah
novel populer, tanpa kehilangan roh, etika dan disiplin akademisnya, dan juga
dilengkapi dengan beberapa contoh kontemporer dalam implementasinya di
lapangan. Mencerdaskan tanpa bermaksud menggurui, buku ini membuka wawasan
terkait hakikat intelijen negara, intelijen dalam negeri dan intelijen luar
negeri, ekosistem intelijen, serta pilar-pilar intelijen, yang diakhiri dengan
penutup mengenai esensi perlunya kecepatan dan ketepatan intelijen memprediksi
ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT).
Kecepatan dan ketepatan (velox et exactus) adalah
semboyan intelijen. Kecepatan dan ketepatan diperlukan dalam mengassess
berbagai kemungkinan cara bertindak, yang meliputi fungsi penyelidikan
(detection), pengamanan (security) baik melalui kamuflase dan kontra intelijen,
atau penggalangan (conditioning) melalui perang pskologis atau perang urat
syaraf. Pengguna (user) intelijen adalah Negara Republik Indonesia untuk
mencapai tujuan bernegara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, yang
menempatkan Pemerintahan negara Republik Indonesia yang demokratis sebagai
subjek, serta tegaknya keamanan dan ketertiban dan keselamatan negara bangsa,
di tengah dinamika lingkungan strategis global, regional dan nasional dalam
pusaran tarik menarik, asimetris dan inkonvensional.
Pada tataran filsafat, justifikasi kecepatan dan
ketepatan tersebut diperlukan untuk mendahului dan mengantisipasi gerakan pihak
lawan SEBELUM berbuat damage. Kebenaran intelijen bersifat pragmatis,
yang diukur berdasarkan kebermanfaatan informasi guna memprediksi pengalaman
dan kejadian di masa depan. Intelijen yang berhasil tolok ukurnya adalah tidak
boleh terjadi unanticipated shock/surprise. Pada tataran ini, dasar bertindak
seorang intel adalah intuisi yang matang dan terlatih berdasarkan asas
kemanfaatan (utilitarianisme), bukan berdasarkan kebenaran ilmiah, apalagi
dikaitkan dengan criminal justice system yang memerlukan fakta-fakta
hukum berkategori perbuatan melawan hukum sebelum bertindak.
Esensi kecepatan dan ketepatan bertindak,
mendahului pihak lawan untuk mencegah timbulnya damage, merupakan
kondisi kedaruratan, yang merupakan norma hukum tersendiri, dimana norma-norma
hukum konvensional harus diabaikan (iustitium), dengan semangat necessitas
legem non habet, yang dipopulerkan oleh filsuf Italia Santo Romano pada
awal abad ke 20.
Karena itu adalah aneh, manakala ada kalangan di
Parlemen, dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Intelijen, meminta agar
orang yang dimintai keterangannya untuk kepentingan intelijen perlu didampingi
pengacara. Bahkan esensi pembahasan Undang-undang Intelijen telah bergeser
menjadi pembahasan rule of engagement kelembagaan Badan Intelijen
Negara, yang diberi kewenangan selain mengkoordinir badan-badan intelijen
institusi negara, dan juga kewenangan operasional. Cara bekerja intelijen bukan
pro justicia, tetapi adalah mengeliminasi potensi ancaman sebelum
terwujud, yang dapat dilakukan dengan metode terbuka atau tertutup, pendekatan
keras, halus atau cerdas. Namun demikian, intelijen tidak bekerja bebas nilai
dan tanpa norma. Karena keberadaan intelijen adalah untuk kepentingan negara
yang berdasar Pancasila, maka norma dan rule of engagement-nya harus
berpedoman pada etika Pancasila. Intelijen harus memiliki norma hukum dan moral
yang dikaitkan dengan sikap batin sebagai individu Pancasilais yang otonom.
Koridor tersebut terefleksi dalam sumpah intelijen dan mars intelijen, yang
antara lain menyatakan seorang insan intelijen harus menjunjung tinggi hak
asasi manusia, demokrasi dan supremasi hukum, dalam membela nusa, bangsa dan
bahasa, laksana angin yang berembus, mengisi setiap ruang di dunia.
Buku ini menangkap kegelisahan, dan keresahan
atas berlangsungnya praktek-praktek yang mematangkan nilai-nilai yang
menyimpang dari falsafah dasar negara Pancasila di negara ini, atas dasar
hukum, HAM dan sebagainya yang sering diteriakkan oleh para LSM, NGO maupun
media massa. Mereka ini secara sadar atau tidak telah merupakan binaan dari
intelijen dan kepentingan asing yang berupaya merongrong kedaulatan dan
kewibawaan Pemerintah Negara Republik Indonesia, di bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Praktik intelijen berlomba
dengan waktu, tidak dapat menunggu suatu perbuatan digolongkan sebagai
kejahatan setelah menimbulkan akibat. Karena itu, misalnya penebaran kebencian
saja sudah cukup bagi intelijen untuk bertindak. Indonesia tidak boleh
dibiarkan menjadi penadah utama pelarian politik fundamentalisme agama, yang
menyebarkan paham anti kebhinnekaan sebagai sesanti dasar negara Pancasila.
Fundamentalisme, dan radikalisme adalah merupakan bibit dari terorisme yang
seharusnya ditumpas sebelum menyemai dan meracuni mentalitas sebagian
masyarakat.
Ketika mengungkap tudingan miring sementara
kalangan, termasuk wikileaks (hal. 80) bahwa satu ormas keagamaan
beraliran keras di Indonesia sengaja dipelihara dan didanai petinggi Polri dan
BIN untuk digunakan sebagai attacking dog, buku ini tidak melakukan
konfirmasi maupun pembantahan. Tetapi hanya menyatakan bahwa dalam dunia
intelijen, salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan penggalangan
cerdas yang dapat berupa pemberian dana agar target binaan tidak berbuat
sekehendak hati.
Beberapa kiprah implementasi intelijen
kontemporer dalam negeri seperti Densus 88, BAIS dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, maupun praktek intelijen di masa lampau yang sering
menimbulkan benturan-benturan di lapangan karena kurang koordinasi, seperti
pada jaman orde lama dengan tokohnya DR. Subandrio, dan Orde Baru pada masa Ali
Murtopo dengan Operasi Khususnya turut diungkap. Demikian juga halnya dengan
operasi intelijen luar negeri seperti di Afganistan, gerakan Taliban maupun
operasi intelijen asing di dalam negeri seperti CIA pada jaman Sukarno di
Indonesia.
Paradigma perang masa kini, sudah melampaui
perang konvensional teritorial yang nyata, dan telah merambah kepada perang non
konvensional non fisik dan meta fisik. Aktor pemainnya telah bergeser dari
militer sebagai state actor, menjadi non-state actor melalui
penggalangan opini oleh LSM, media dan infiltrasi ideologi. Karena itu, melawan
dan mengeliminir ancaman tersebut juga dituntut kreatif dan tidak berbasis
konvensional semata. Kebijakan, Strategi dan Upaya melalui pemberdayaan
intelijen dengan paradigma non konvensional harus merupakan keniscayaan dan
kebutuhan untuk merespon perubahan lingkungan strategis yang berubah tersebut.
Filsafat intelijen Indonesia memberikan koridor ontologi, epistemologis, dan
aksiologis bagi Intelijen negara Republik Indonesia, di tengah kebingungan
dalam menghadapi perkembangan yang serba dilematis (hal. 214)
Satu pertanyaan yang masih perlu memerlukan
elaborasi lebih lanjut dari buku ini, adalah bagaimana membangun sistem,
mekanisme dan governance yang memastikan agar data dan informasi yang
diperoleh aparat intelijen semata-mata digunakan adalah untuk kepentingan User
yaitu Negara untuk melindungi seluruh bangsa dan tanah air menuju
masyarakat aman dan sejahtera melalui Pemerintah incumbent, dan tidak
akan terbawa dan disalah-manfaatkan mana kala pemerintahan berganti, ataupun
aparat intelijennya sudah tidak berdinas aktif lagi.
0 Response to "Filsafat intelijen Indonesia - Diklat kepemimpinan Pemuda Panca Marga Jakarta Pusat"
Posting Komentar