CUSTOMER FOCUS JANGAN HANYA RETORIKA - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat

Pentingnya memusatkan diri pada keinginan dan kebutuhan pelanggan merupakan hal yang sudah diketahui oleh banyak perusahaan di Indonesia dewasa ini. Hubungan antara fokus pada pelanggan dengan tingkat kepuasan pelanggan juga sudah disadari oleh sebagian besar service provider. Begitu juga hubungan kausal antara kepuasan dengan tingkat keuntungan yang dapat diraih oleh perusahaan, pastilah juga sudah sangat disadari. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak perusahaan di Indonesia saat ini sangat concern dengan pencapaian kepuasan pelanggan, yang antara lain ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam meraih berbagai penghargaan yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan.
Banyak survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga atau perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa perusahaan yang memperhatikan keinginan dan kebutuhan pelanggannya dapat memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik dibandingan perusahaan lain. Kualitas pelayanan yang lebih baik inilah yang kemudian akan berkontribusi pada tingkat kepuasan pelanggan. Jadi, hubungan “fokus pada pelanggan à kualitas pelayanan à- tingkat kepuasan” merupakan rantai yang memang sudah terbukti secara empiris.
Kesadaran akan keharusan berfokus pada pelanggan mendorong berbagai service provider terus berbenah diri. Pembenahan dari sisi 3p - process, people, dan physical evidence menjadi kecenderungan saat ini. Oleh karena hampir semua service provider juga melakukan hal yang sama, tampaknya semakin sulit saja upaya untuk menjadikan ke 3p tersebut sebagai sumber diferensiasi.
Hampir semua service provider berupaya memberikan proses yang convenience kepada pelanggannya. Berbagai cara atau saluran digunakan untuk memberikan kemudahan tadi. Berbagai atribut physical evidence seperti fisik gedung, atmosfer atau suasana di dalam dan di luar gedung, seragam karyawan, peralatan, dan lain-lain, juga secara sungguh-sungguh sudah dirancang oleh para service provider, agar pelanggan dapat menikmati berbagai proses yang dilaluinya selama bertransaksi. Lalu bagaimana dengan unsur people-nya?
Proses yang dirancang untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada pelanggan terkadang tidak dapat di-deliver sebagaimana mestinya akibat dari kualitas people yang men-delivernya. Physical evidence yang dirancang untuk memberikan kesan tertentu dan memberikan kenyamanan kepada pelanggan, menjadi seperti tidak ada nyawanya, juga akibat kualitas people yang men-delivernya. Jadi dapat dikatakan di sini bahwa unsur people atau manusia merupakan kunci. Faktor manusia dapat menjadi sumber diferensiasi.
Dengan demikian, upaya pembenahan people perlu dijadikan fokus dari para service provider jika perusahaan tersebut ingin fokus kepada pelanggannya. Tidak mungkin terjadi “fokus pada pelanggan” tanpa didahului oleh “fokus pada karyawan.” Oleh karena itu, jika kita bicara “fokus pada pelanggan” maka konteks seharusnya adalah pada “pelanggan internal dan eksternal.” Dalam hal ini terkadang perusahaan lupa. Ia terlalu banyak berkonsentrasi pada pelanggan eksternal, kurang memperhatikan pelanggan internalnya.
Budaya membangun service culture pada pelanggan internal sudah seharusnya menjadi tujuan perusahaan yang ingin customer focus. Membangun service culture ini tidak cukup hanya melalui pelatihan-pelatihan singkat, apalagi yang dilakukan sesaat menjelang adanya kontes kepuasan pelanggan. Terasa hanya tujuan sesaat.
Pada awalnya, pendekatan top down merupakan cara yang efektif dalam membangun service culture ini. Artinya, kesadaran dan contoh teladan harus datang dari pucuk pimpinan, disemaikan ke bawah dengan berbagai media penyampaian. Membangun service culture ini harus dipandang sebagai sesuatu yang stratejik sifatnya. Oleh karena itu, dorongan dari atas akan sangat efektif. Baru setelah mulai berjalan, empowerment of employees menjadi tahap berikutnya. Memberikan keleluasaan pada karyawan pada batas tertentu akan mendorong karyawan berkreasi dalam memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan. Dari dua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa membangun service culture bukanlah upaya instan yang akan memberikan hasil instan pula. Ini yang penting disadari.
Service culture harus dibangun dalam tubuh perusahaan secara keseluruhan. Tidak hanya pada frontliners. Banyak service provider yang mengira dengan melatih para frontliners agar dapat memiliki budaya melayani, berarti tugasnya sudah selesai. Padahal, para fronliners ini tidak mungkin dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa adanya dukungan dari back office yang juga memiliki orientasi yang sama.
Satu hal yang rasanya perlu dicermati oleh para service provider saat ini, khususnya industri perbankan dan Asuransi , yaitu: adanya pola outsource karyawan, terutama karyawan yang menjadi garda terdepan perusahaan. Dengan pola ini, di satu sisi memang perusahaan dapat mencapai efisiensi yang diinginkan, namun di sisi lain ada risikonya. Karyawan ousource ini belum tentu dapat menghayati nilai-nilai perusahaan, apalagi memahami secara utuh service culture yang dibangun oleh perusahaan. Akibatnya, service delivery-nya belum tentu optimal, atau dengan kata lain, belum mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan. Inilah yang terkadang merupakan salah satu sebab dari timbulnya over promise-under delivery.
Membangun service culture perlu didukung dengan pola reward dan punishment yang jelas dan memadai. Menuntut karyawan memiliki budaya melayani tanpa adanya penghargaan yang baik, tidak akan efektif. Karyawan hanya akan menjadi mediocre, melayani seadanya dan secukupnya, karena memang kurang termotivasi.
Customer focus, pada akhirnya, bukanlah semata sebuah slogan pembangkit semangat perusahaan dan para karyawannya, yang didengungkan di berbagai momen internal perusahaan. Customer focus bukanlah suatu retorika, yang hanya dicanangkan untuk mencapai tujuan sesaat. Customer focus sesungguhnya adalah nadi suatu perusahaan, yang denyutnya harus terasa terus selama perusahaan hidup dan berkembang.

0 Response to "CUSTOMER FOCUS JANGAN HANYA RETORIKA - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat"

Posting Komentar