Bagaimanakah seharusnya sikap
karyawan terhadap dunia kerja yang terus berubah. Secara umum, didefinisikan
tiga loyalitas penting dalam pekerjaan, loyalitas pertama, sebagai loyalitas
pada perusahaan. Inilah loyalitas pertama dan paling sederhana. Disini karyawan merasa “hidup dan matinya” bagi
perusahaan tempat ia bekerja. Sangat mulia dan baik tentunya. Loyalitas ini
tidak terlalu bermakna di era ekonomi baru. Tuntutan perusahaanpun, bukanlah
Cuma sekedar loyal tapi loyal plus kontribusi. Jadi, perusahaan menganggap
karyawannya yang loyal adalah yang memberikan kontribusi. Yang tidak produktif, tidak berguna, dan tidak
menghasilkan, dipersilahkan untuk angkat kaki.
Realita ini menunjukkan bahwa kitapun tidak bisa lagi Cuma sekadar
mengandalkan loyalitas pada perusahan. Masalahnya, perusahaan menuntut
loyalitas yang lebih tinggi. Dengan demikian, loyalitas pada perusahaan
tidaklah cukup, kita pun harus memasuki loyalitas level kedua, Yakni loyal pada
profesi kita. Dalam hal ini, kita tidak sekedar bekerja di suatu perusahaan
tetapi kita berupaya memberikan kontribusi bagi perusahaan melalui profesi
kita. Dimanapun kita bekerja, akhirnya bukan lagi menjadi isu yang penting.
Yang utama bagi Anda yang membangun loyalitas pada level dua ini adalah
memberikan nilai dan kontribusi semaksimal mungkin. Dimanapun Anda berkarya dan
bertugas. Dalam pikiran Anda, kontribusi Anda adalah melalui kualitas
pekerjaannya sebagai seorang yang profesional. Tidak menjadi masalah bekerja
dibidang Finance, accounting, HRD, marketing, Underwriting atau fungsi apapun,
Anda akan bekerja secara maksimal. Tidak peduli dimanapun Anda berkarya, Anda
akan tetap memberikan diri Anda yang terbaik. Andalah para profesional yang loyal pada
pekerjaan atau profesi Anda. Inilah loyalitas level kedua.
Namun diatasnya, terdapat jenis loyalitas
tertinggi serta terpenting yang membuat pekerjaan menjadi begitu bermakna.
Loyalitas ketiga atau terakhir ini disebut sebagai loyalitas pada panggilan.
Dalam hal ini, orang tidak lagi sekadar bekerja melainkan memiliki permaknaan
arti yang lebih dalam mengapa dirinya bekerja di suatu perusahaan
Singkatnya, orang yang sampai pada level ini, menemukan alasan yang lebih mendalam
bagi pekerjaan yang ia lakukan.
Sebagai ilustrasi atas ketiga loyalitas ini
saya punya kisah tentang pengalaman teman saya seorang general manajer disebuah
perusahaan terkemuka. Kisah ini berawal dari nasib teman saya, sebut saja HMN,
yang kebetulan sangat miskin sewaktu masih mudanya, setamat SMA waktu itu, Ia
terpaksa bekerja menjadi sopir demi perekonomian keluarganya. Disaat sengang Ia
rajin belajar bahasa jepang karena majikannya adalah seorang warna negara
jepang. Karena dapat berkomunikasi sangat lancar dan rajin bekerja maka
Ia diangkat menjadi karyawan diperusahaan tersebut. Bahkan Ia ditawari
untuk melanjutkan pendidikan S-1 nya dengan syarat setelah selesai pendidikan,
Ia diminta mengabdi bagi perusahaan tersebut. Sebagai anak yang cerdas, Ia tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut.
Setelah selesai masa pendidiknnya, Iapun memenuhi janjinya untuk
mengabdi bagi perusahaan yang telah memberikan kesempatan. Ia membangun
loyalitas terhadap perusahaan yang berjasa menyekolahkannya. Iapun bekerja
keras dan rajin hingga perjalanan karirnya pun semakin baik dari staff , lalu
supervisor hingga general manager .
Walaupun pada saat meniti karir ia mengalami beberapa kali pergantian
pimpinan, kadang kala ada pimpinan banyak aturan yang aneh, kadang arogan
dan sulit membicarakan serta kelihatan tidak peduli pada karyawan,
Kalau berangkat kerja rasanya malas sekali, rasanya Ia ingin
berhenti saja. Dikantor banyak orang menggunjingkan Bos Dia, Yang arogan
tersebut. Herannya, kelihatannya bos tidak peduli. Kantor dia rasanya seperti
Neraka. Tiap hari, temen-temennya menebak-nebak siapa yang bakal disemprot oleh
atasannya.
Hal ini sempat mengguncangkan kesetiaannya pada perusahaan tempat Ia
bekerjaTetapi Ia sendiri bisa merasakan seandainya saya dalam posisi manajemen.
Dimana lagi bos saya ini mau
ditempatkan kalau bukan di unit kerja kami. Ia selalu mencoba membantu
sebisanya dan menjalin komunikasi yang baik dengan pimpinannya. Memang akibatnya teman-temannya sering
menyindir mengapa Ia bisa tahan dengan pimpinannya. Tapi Ia berpikir,
daripada saya ngedumel dan kerja ogah-ogahan, mending menciptakan keadaan kerja
yang lebih baik. Toh Bos ini sudah dipilih, tidak bisa Ia ubah. Ia hanya bisa
memilih menerima bos ini dan melakukan yang terbaik atau keluar dari tempat
kerja sekarang.
Namun akhirnya Ia sadar, bahwa tidak masalah siapa yang menjadi pimpinan Ia
tetap harus menunjukkan terima kasihnya dengan memberikan kontribusi melalui
pekerjaannya. Ia harus berterima kasih kepada perusahaannya dengan bekerja
sebaik-baiknya dalam bidang profesinya. Hal ini ternyata berdampak baik bagi
kariernya. Lalu kariernya terus menanjak hingga berdampak Ia kemudian menjadi
salah satu General manager.
Sebagai general manajer, justru banyak kesempatan baginya untuk melalukan
kegiatan sosial untuk membantu anak-anak malang yang bernasib seperti dirinya
dahulu, Kini HMN menemukan panggilan yang lebih bermakna pada pekerjaannya
sebagai General manager saat ini.
Perhatikanlah
bagaimana HMN dalam kisah diatas mengalami transformasi dalam loyalitasnya
dalam bekerja. Mula-mula HMN loyal pada pimpinan perusahaan sebagai terima
kasihnya, lantas setelah terjadi pergantian pimpinan, Iapun membangun loyalitas
pada profesinya. Dan terakhir, Diusia menjelang senja, ia melihat adanya panggilan
yang lebih jauh dalam pekerjaannya. Dari pengalaman HMN ini, Saya menyarankan
minimal kita mesti sampai pada loyalitas di level kedua. Ya, tentu saja
akan jauh lebih mulia jika akhirnya kita mampu menemukan panggilan yang lebih
jauh dalam memaknai pekerjaan kita.
0 Response to "MEREDEFINISI MAKNA LOYALITAS - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat"
Posting Komentar