Jika dibayangkan diri kita
seperti sebuah produk, maka produk tersebut haruslah bernilai. Bayangkanlah
nilai apakah yang kita berikan. Salah satunya adalah nilai tambah yang terus menerus.
Kalau setiap saat kita nenuntut suatu servis produk yang kita konsumsi, terus
menerus baru, uptodate ataupun segar. Bayangkan kita menuntut Kopi yang enak
setiap pagi. Atau kita menuntut aplikasi terbaru atau produk teknologi terbaru.
Mestinya kesadaran diri kitapun uptodate, tidak ketinggalan zaman. Tidak ada
yang lebih memprihatinkan ketika diri kita kadaluarsa.
“Buatlah Produk Anda sendiri
kedaluarsa sebelum orang lain melakukannya” berarti kita ditutut terus menerus
memperbaruhi kemampuan serta ketrampilan diri. Sebelum yang lain membuat kita
menjadi kadaluarsa. Bahkan “kanibalismekaan produk sekarang agar Anda tetap
memimpin, cara berpikir seorang pemenang adalah membuat standar dalam diri.
Terlalu mudah berpuas diri dan merasa telah menjadi yang terbaik adalah bahaya
terbesar dalam mencapai keberhasilan personal.
Mestinya dalam diri kita perlu
terdapat semangat “creative destructive” yakni menghancurkan kemampuan,
mengatasi kemampuan saat ini untuk mencapai level yang lebih tinggi. Terus
menerus mengembangkan diri dan memperbarui apa yang diketahui sebelumnya, jika
terdapat hal baru yang lebih baik dan lebih effektif dari apa yang diketahui
sebelumnya yang akan membuat kita terus menerus untuk maju. Mestinya, semangat
yang mewarnai semangat kita untuk terus menerus memperbaruhi diri. Mencari
daerah baru yang belum dikuasai dan terus menerus mengembangkan diri, Inilah
semangat yang dalam bahasa jepang sering kali disebut dengan semangat Kaizen
Sekarang saya akan bercerita
tentang seorang anak kecil dikampung saya disolo, ceritanya : Ada anak kecil
sebut saja namanya EMS, anak kecil ini sangat malas dan sering kali bolos
sekolah. Disekolah ia selalu berantem, tidak dengarkan nasehat guru dan suka
membolos. Intinya, Ia membenci sekolah dan ingin keluar dari sekolah sehingga
tidak perlu bersusah payah belajar. Suatu pagi, seperti biasa, anak itu kembali
tidak mengikuti pelajaran. Pagi itu, EMS keluyuran dan berjalan-jalan
disekitar tempat menempa besi (pandai besi). Saat itu, ia menyaksikan kakek tua
yang sedang menempa besi tumpul dengan alat gerindanya.
Karena tertarik anak itu kepada
sang kakek Tua, maka dia bertanya “Pak tua apa yang pak tua sedang lakukan ?”
Sambil tetap bekerja pak tua menjawab “saya sedang menajamkan besi ini” dengan
heran anak itu bertanya lagi “”lho khan batang besi ini begitu tumpul,
bagaimana dapat ditajamkan” sang kakek tua menjawab “ Bisa saja, kalau saya
rajin mengasah dan menajamkan besi ini setiap saat, lama kelamaan pasti menjadi
tajam”. Anak pembolos itu, langsung menangkap maknanya. Iapun kembali ke
sekolah dan mulai rajin belajar. Anak itu menjadi sadar otaknya seperti besi
tumpul itu. Kalau saja ia rajin mengasah otaknya setiap hari, pastilah akan
menjadi tajam suatu saat
Dari cerita diatas dapat kita
simpulkan bahwa pikiran yang paling tumpul sekalipun jika terus menerus diasah
akhirnya akan tajam juga. Tetapi tentunya bukan sembarang mengasah. Harus ada
cara yang sistematis dalam mengasah pikiran kita agar pikiran kita tetap
setajam pisau saat digunakan, saya yakin, semuanya dimulai dari kemauan dan
keinginan kita untuk belajar
Saya berpikir pemahaman kita yang
terutama adalah melihat belajar sebagai suatu proses berkelanjutan, celakanya,
banyak yang merasa setelah tamat dari sekolah ataupun tamat dari pendidikan,
maka tamat pulalah keharusannya belajar. Sayang sekali dimasyarakat banyak
muncul paradigma semacam itu. Bahkan bukan saja terjadi pada orang-orang yang
bekerja, namun mental yang sama juga terjadi pada para guru atau trainer. Jika
mereka mengajar saja tidak mau belajar, bagaimana kita harus berharap anak
didiknya juga memiliki mentalitas untuk belajar.
Dalam disiplin kerja,
belajar merupakan bagian dari proses untuk mempertajam kemampuan atau
kompetensi kita. Untuk bidang atau fungsi apapun, selalu tersedia ruang bagi
kita yang ingin mencapai tingkat kemahiran yang lebih baik. Namun, sebelum
prilaku belajar itu muncul, maka semestinya dipahami dulu mengapa orang harus
belajar.
Tatkala, pembelajaran menjadi
suatu kewajiban, justru ia akan menjadi jadwal yang membosankan. Tetapi jika
melihat belajar sebagai fun, menarik untuk mengetahui pandangan orng, melihat
bagai perkembangan ilmu terbaru. Kesempatan untuk masuk dalam hal baru yang
belum kita ketahui, belajar dari yang lebih ahli (expert) dari diri kita.
Saat itulah terasakan bahwa belajar menjadi sesuatu yang fun, akibatnya, pada
saat kita tidak membaca, yang seharusnya muncul bukanlah rasa bersalah,
melainkan perasaan “kagen” untuk menambah kepada otak kita sesuatu yang
terbaru.
0 Response to "PERSONAL LEARNING - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat"
Posting Komentar