Slogan Bhineka tunggal Ika yang terdapat pada pita yang digenggam lambang negara kita, Garuda Pancasila berasal dari Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular sekitar abad ke 13 M di kerajaan Singhasari.
Teks lengkapnya berbunyi ” Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” yang artinya berbeda – beda (Bhineka) satu ( tunggal ) adanya (ika) tidak ( tan ) ada (hana) Dharma yang mendua (mangrwa). hal ini berkaitan dengan adanya faham Siwa Budha yang berkembang sejak masa Mataram di Tanah Suci Jawa.
Paugeran Hidup Jawa sangatlah toleran sehingga menghormati segala ajaran yang dipandang memberi pencerahan. Dalam ajaran Jawa tidak dikenal mengkafirkan orang. setiap orang berhak berjalan atas keyakinannya sendiri, tanpa paksaan, tidak ada benar – salah, tidak ada guru tidak ada murid.
Orang Jawa meyakini bahwa kebenaran pasti akan terungkap pada akhirnya ” Becik Ketitik Ala Ketara” tidak perlu diperdebatkan dan tidak ada gunanya memaksa orang untuk mengikuti kebenaran yang kita yakini.
hal inilah yang hendak disampaikan oleh Yang Maha Agung Mpu Tantular ( Semoga Berkah Brahman selalu berlimpah kepada Beliau ), sehingga ahli waris Jawa dikemudian hari tidak akan terhasut oleh akal busuk dan taktik licik yang menyesatkan dari Bangsa Sabrang yang tidak menginginkan persatuan di Tanah Suci ini.
Sebagai ahli waris Paugeran Jawa, kita semua harus mulai waspada akan hasutan – hasutan berbagai pihak untuk meninggalkan pedoman hidup Jawa, untuk melupakan kebudayaan Jawa, untuk tidak lagi menghormati Leluhur dan Tanah Suci Jawa. Banyak pihak yang tidak ingin melihat Kejayaan Nusantara bangkit kembali dari Tanah Jawa, dan lihatlah mereka menggunakan segala cara untuk menghalangi kebangkitan itu. mulai dari propaganda, seminar, pamflet, blog yang isinya mendeskreditkan Budaya warisan Leluhur kita.
Tetapi sekali lagi, usaha mereka itu sia – sia belaka. telah tiba waktunya kejayaan Nusantara kembali. sudah tiba waktu Sabdopalon Nagih Janji. lihatlah semakin kejam dan arogan perilaku mereka terhadap para ahli waris Tanah Jawa, maka alam akan semakin membalas dengan lebih kejam pula.
Tan Hana Dharma Mangrwa
DI setiap ruangan pejabat publik di negeri ini seharusnya dipasang tulisan
berbunyi ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’, melengkapi semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’,
terdapat dalam simbol Republik Indonesia, Garuda Pancasila, yang selalu
terpasang di setiap ruangan kantor pejabat pemerintahan.
Biar pejabat publik di negeri ini selalu ingat akan spirit dan etos kerja diserukan oleh semboyan itu, untuk selalu melayani publik, mengabdi pada kepentingan umum, pada kemanusiaan, kepada kesejahteraan setiap warga negara, tanpa membedakan asal-usul keturunan, golongan, ras dan agama. Barangkali, gara-gara semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ itu tidak lengkap ditulis, — seharusnya dilengkapi dengan kata-kata ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ di belakangnya — maka pelayanan publik kita menjadi tidak efektif seperti kita rasakan sekarang ini.
Biar pejabat publik di negeri ini selalu ingat akan spirit dan etos kerja diserukan oleh semboyan itu, untuk selalu melayani publik, mengabdi pada kepentingan umum, pada kemanusiaan, kepada kesejahteraan setiap warga negara, tanpa membedakan asal-usul keturunan, golongan, ras dan agama. Barangkali, gara-gara semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ itu tidak lengkap ditulis, — seharusnya dilengkapi dengan kata-kata ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ di belakangnya — maka pelayanan publik kita menjadi tidak efektif seperti kita rasakan sekarang ini.
Negara semakin dituntut mengeluarkan kebijakan publik, regulasi, dan perbaikan
kualitas kebijakan, yang pro-rakyat, pro-kemanusiaan, untuk melindungi
warganya. Tidak main-main, bukan hanya sekadar latah, atau mengejar popularitas
politik, ketika para pendiri republik ini mengambil semboyan ‘Bhinneka Tunggal
Ika’ sebagai semboyan republik tercinta. Hanya mungkin, karena terbatasnya
tempat, kata-kata ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ tidak ditulis dalam simbol Garuda
Pancasila.
Kalimat yang bermakna, untuk mengabdi pada kemanusian, untuk terciptanya
perdamaian abadi dan keadilan sosial di bumi Nusantara. Semboyan itu sendiri
diambil dari Kitab Sotasoma, karangan Mpu, Maha Guru, Tantular. Dimaksudkan
untuk mengingatkan mahapatih, panglima perang, Gadjah Mada, agar tidak
mempersatukan Nusantara dengan perang, represif dan cara-cara kekerasan.
Sebaliknya, mempersatukannya dengan cara damai, menyebarkan cinta kasih, dan
kerja kemanusiaan pada sesama.
Menghadapi berbagai dampak
sosial-kemanusiaan akibat krisis ekonomi dan bencana alam ini, para pejabat
publik, elite politik dan pemimpin partai politik kita, seharusnya tidak perlu
bersaing mengklaim diri sebagai yang paling benar, demi mengejar popularitas
politik dan kekuasaan. Sementara rakyat dibiarkan tanpa disertai penanganan
kebijakan memadai. Tetapi, yang penting adalah ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’
mereka; kebijakan nyata, dharma-nya, bagi kemanusiaan, semata untuk perbaikan
kesejahteraan rakyat, karena tidak ada dharma kemanusiaan yang sifatnya mendua,
semua berpusat pada perbaikan kualitas hidup manusia. Kekuasaan tidak bisa
ditipu dan dimanipulasi, hanya dengan ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ merekalah
akhirnya terbukti, baik buruknya kepemimpinan mereka.
Barangsiapa mampu memimpin negeri ini dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana
Dharma Mangrwa’, maka kelak para pemimpin, pejabat daerah, dan rakyat di
seluruh kepulauan Nusantara akan mendatanginya, mengabdi kepadanya, memberikan
dukungan dan legitimasi politiknya. Begitu ampuhnya akuntabilitas ‘Tan Hana
Dharma Mangrwa’ itu. Sebaiknya para pejabat publik di seluruh negeri ini
mempraktikkannya. Dan, sekali lagi, sebaiknya memasang semboyan ‘Tan Hana
Dharma Mangrwa’ di ruangan kerja mereka, sebagai pengingat agar selalu mengabdi
pada pelayanan publik, pada kemanusiaan, untuk perbaikan nasib hidup
kesejahteraan warganya.
0 Response to "BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANA DHARMA MANGRWA - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat"
Posting Komentar