Manusia
penghuni Nusantara memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama, latar
belakang sosial, tapi sesungguhnya ddi dalam dirinya bersemayam nilai-nilai
perekat kebersamaan, yakni kesadaran akan pengabdian terhadap Tuhan Maha Esa,
kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, terhadap keberlangsungan hidup
bersama, yang kemudian oleh Ir. Soekarno disebut sebagai Pancasila.
Makna hakiki dari “tan hana dharma
mangrwa” itu tentu relevan direnungkan kembali, agar bangsa ini tidak terus
menerus terjebak dijalan sesat. Sebab, bukankah karut marut yang mendera selama
ini akibat penduaan dharma yang bermula pada kalangan elite, tapi kemudian
menular ke masyarakat luas.
Kenyataan
yang terjadi saat ini adalah kalangan politisi telah menduakan dharmanya,
dengan mengatasnamakan rakyat untuk menindas rakyat, para pejabat negara disatu
sisi mengaku sebagai abdi negara tapi juga sekaligus menguras kekayaan negara
untuk diri sendiri dan kelompoknya, para penegak hukum yang seharusnya mengabdi
demi tegaknya kebenaran dan keadilan hukum, justru kian telanjang memperkosa
dewi keadilan itu sendiri, dan ironisnya lembaga pendidikan sebagai lahan
persemaian bagi tumbuhnya karakter kebangsaan justru kian kehilangan
karakternya sendiri.
‘Tan Hana
Dharma Mangrwa’ menegaskan pentingnya tindakan nyata. Yakni dharma bagi
kemanusiaan, bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Dharma itu bersifat tunggal
tidak bisa berlaku ganda. Ia berpusat pada perbaikan kualitas hidup manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan. Karena tidak bisa dimanipulasi dengan pencitraan.
Sebab, betapa pun hebatnya polesan pencitraan, pada saatnya baik atau buruknya
pelaksanaan dharma kepemimpinan akan terkuak juga.
Lahir Dari Kegalauan
Menurut sejarahnya, karya sastra
“Sutasoma” memang tercipta akibat kegelisahan Mpu Tantular yang ikut merasakan
kegelisahan Hayam Wuruk menyaksikan sepak terjang Maha Patih Gajah Mada yang
kian ganas menaklukan negara-negara tetangga dengan kekerasaan. Pada hal negara
tetangga mesti diperlakukan sebagai mitreka satata, sebagai mitra setara
bahkan sebagai saudara sendiri.
Dalam hal ini, Gajah Mada tentu
tidak salah. Sebab, untuk memenuhi permintaan Sri Ratu Tri Bhuana Tungga Dewi
(Ibunda Hayam Wuruk), ia telah mengucapkan Sumpah Amukti Palapa, yakni ikrar
akan mempersatukan nusantara di bawah payung singgasana Majapahit. Untuk
mengejar ambisinya itu, pendekatan hegemoniasi melalui pendudukan militer,
dominasi ekonomi dan pemaksaan keyakinandan agama dilakukan secara masif.
Tapi, Hayam
Wuruk menyadari persatuan dan kesatuan yang dirajut dengan kekerasan,
penaklukan, tipu daya, pemaksaan, tak akan melahirkan persatuan sejati. Ia akan
senantiasa menyimpan dendam yang terus membawa bagaikan api dalam sekam, yang
pada gilirannya mengancam persatuan nusantara. Karena itu, perlu pendekatan
baru untuk merekatkan persatuan bangsa ini. Yakni perekat yang dapat
mengakomodasi tuntutan hati nurani manusia yang hakiki, yang membawa
ketentraman dan kedamaian bagi semua.
Semangat
inilah yang ditangkap oleh Mpu Tantular dan kemudian dituangkan dalam Sutasoma.
Tujuannya, disatu sisi sindiran kepada Gajah Mada agar dalam ambisinya mempersatukan
nusantara tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusian, di sisi lain sekaligus
sebagai dasar paradigma baru dalam membangun dan memelihara persatuan dan
kesatuan rakyat nusantara.
Tentu tirta
kearifan Mpu Tantular yang mengalir dari Bhumi Wilwatikta ini, terasa relevan
untuk direguk kembali oleh bangsa kita dewasa ini, demi merekatkan kembali
berbagai keretakan yang menggores tubuh bangsa kita. Pesan moral dari sasanti
“tan hana dharma mangrwa, bhinneka tunggal ika” sesungguhnya adalah pernyataan
kasih yang patut disemaikan dalam kehidupan kemajemukkan bangsa ini.
“Semailah selalu kasih damai, di
hati dan di bumi. Kasih kepada Hyang Widhi, kasih kepada bumi pertiwi dan kasih
kepada sesama insan kehidupan. Mari, mari bersama menyucikan nurani memajukan
bangsa. Mari berkasih damai menegakkan kebenaran tanpa amuk kekerasan. Mari
berkasih mesyukuri keindahan pelangi keberagaman kita.” Itulah peringatan
Sutasoma kepada Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyatnya
sendiri
0 Response to "Merenungkan Kembali “Tan Hana Dharma Mangrwa - “Bhinneka Tunggal Ika,” - Pemuda Panca Marga, Jakarta Pusat"
Posting Komentar