Dalam ilmu
pengetahuan, sikap obyektif yang berarti bebas dari perasaan - adalah sikap
yang diisyaratkan. Akan tetapi sedikit orang tahu, bahwa juga dalam menghadapi
kesukaran sebaik-baiknya kita bersikap objectif.
Ada
kisah seorang petinju, yang dalam beberapa ronde saja sedemikian putus asanya,
sehingga boleh dipastikan bahwa ia akan kalah. Akan tetapi sebelum memasuki
gelanggang dalam menghadapi ronde selanjutnya pelatih membisikkan kepadanya
kata-kata demikian : "Bung ingatlah ! Lawan anda hanya mempunyai Dua
tangan!". Petinju yang sudah mulai putus asa, seolah-olah bangkit dari
mimpinya dan ia menjadi objectif, artinya ia melihat musuhnya dengan sewajarnya
saja, tak dipengaruhi oleh perasaannya. Dan memang betul, lawannya hanya
mempunyai dua tangan.
Ketika ia menghadapi dia semula, ia dipengaruhi oleh
perasaannya, dan memang terasa bahwa lawannya seperti mempunyai sepuluh tangan.
Setelah ia melihat dan menghadapi lawannya secara objektif - yakni bahwa
tangannya hanya dua - cara ia bertinju menjadi sedemikian hebatnya, sehingga
lawannya terkejut, bingung dan akhirnya dapat dirobohkan. Ini contoh cara
melihat suatu kesukaran dengan obyektf, yang berhasil untuk mengatasi kesukaran.
Biasanya
kesukaran atau orang yang kita hadapi - misalnya ia mengancam kita, sehingga
kita masukkan juga dalam golongan "Kesukaran" - kita pandang dengan
prasangka, dan tidak sewajarnya, tidak dengan cara obyektif.
Maka dalam
menghadapi seseorang yang bagiamanapun berkuasanya, bahkan seandainya ia
mengenakan mahkota raja sekalipun, maka
ingatlah, bahwa ia adalah manusia yang seperti kita, yang makan dan minum,
tidak maha kuasa.
Juga jika ada
bedanya dengan kita, beda itu taklah terlalu jauh. Dengan demikian, segala
ancamannya tak begitu hebat seperti kita yang sangka. Dan menurut psychologi,
orang yang marah dan mengancam itu biasanya disebabkan karena ia takut.
Karena itu kalau
kita tenang saja, niscaya ia akan lebih takut lagi terhadap ancaman-ancaman itu
karena tidak ada artinya. Akan tetapi kalau kita takut, maka ia menjadi berani,
dan kita akan termakan oleh ancaman-ancamannya itu.
Demikian pula
dalam menghadapi kesukaran. Periksa dan hadapilah secara obyektif
kesukaran-kesukaran itu , analisalah kesukaran-kesukaran itu akan menjadi
sederhana belaka, dan dengan usaha yang kecil saja, kesukaran itu biasanya
untuk sementara waktu bisa diatasi, untuk kemudian diatasi sama sekali.
Misalnya Saudara
mencium bau barang yang terbakar dikamar. Kalau Saudara tak tenang, perasaan
saudara mengatakan : "kamar terbakar", dan kemudian ditambah lagi :
"rumah terbakar", Anak-anak terbakar" Sudara lari keluar,
mungkin mencari-cari pertolongan. Akibatnya, api berkobar lebih besar, dan akhirnya
betul-betul membakar seluruh rumah, bahkan seluruh kampung.
Akan tetapi
kalau anda tetap kepala dingin, maka pikiran Saudara yang obyeftif mengatakan :
Saya Lihat dulu", anda melihat hal yang sebenarnya "Kelambu
terbakar". Mungkin ada anak Saudara didalamnya, lalu anda angkat. Pikiran objectif anda mengatakan
"Air". Anda lari cepat, akan tetapi tak bingung ke sumur. Dan dengan
satu siraman air satu ember, api itu menjadi kecil, dan jika saudara siram lagi
dengan dua ember air, niscaya api padam sama sekali.
Anda periksa
anak saudara, hanya tangannya yang terbakar. Anda usap-usap dengan mentega atau
minyak lalu bawa kerumah sakit.
0 Response to "Hadapi kesukaran secara obyektif"
Posting Komentar